Hong Kong - Menyaksikan kehidupan buruh migran
Indonesia di Hong Kong, seakan membalik kisah selama ini mengenai nasib
para pahlawan devisa yang selalu di rundung pilu. Seakan tidak ada kisah
lain selain penganiayaan, pembunuhan, atau pemerkosaan oleh para
majikannya.
Namun di wilayah China bekas jajahan Inggris ini,
para buruh migran hidup makmur. Namun, di balik itu bukan berarti tidak
ada masalah yang merundung mereka.
"Di sini masalah yang dihadapi
para buruh migran adalah lebih kepada pribadinya, jarang ada masalah
antara buruh dan majikannya," kata Abdul Razak, jurnalis asal Indonesia
yang sudah menetap dua tahun di Hong Kong, saat berbincang dengan
detikcom, awal pekan ini.
Razak memperkirakan, hal tersebut
muncul karena faktor gegar budaya (culture shock) yang dihadapi beberapa
buruh migran. Maklum saja, Hong Kong kota besar dengan gaya hidup yang
bergelimang fashion dan gadget.
Tapi, tidak semua buruh migran
Indonesia di Hong Kong hidup bergelimang harta dan kerap mengikuti tren
fashion di sana. Tetap ada diantara mereka yang membuat perkumpulan
untuk berkreasi, bahkan mencari tambahan modal untuk bekal pulang
kampung kelak.
Di Hong Kong, hak buruh migran wajib dipenuhi oleh
setiap majikan yang menggunakan jasanya. Sebut saja hak kaum buruh di
sana yang mendapatkan jatah untuk libur sehari dalam setiap minggu.
Kalau pun tetap bekerja, para majikannya wajib untuk membayarkan uang
lembur sebagai pengganti hari libur.
Bila para buruh migran
tersebut tidak diberikan makan, sang majikan pun wajib hukumnya untuk
menggantikan uang makan pekerjanya. Lalu, bagaimana dengan gaji per
bulan yang mereka terima?
"Pemerintah di sini menetapkan standar
upah bagi pendatang minimal HK$ 3.920-an, Lebih itu terserah majikan
masing-masing," kata Razak. Jumlah tersebut adalah nilai bersih yang
diterima, bila di rupiahkan mereka mendapatkan upah sebesar Rp 5 juta
setiap bulannya. Belum termasuk uang makan atau lembur.
Detikcom
mencoba melongok kehidupan para buruh migran Indonesia yang memiliki
rutinitas khusus setiap akhir pekan Sabtu dan Minggu di Victoria Park.
Sebuah taman yang berada di kawasan Causebay yang selalu dipadati ribuan
buruh migran.
Dua hari itu merupakan hari yang paling banyak
diambil untuk berlibur dalam setiap minggu oleh para buruh. Tidak hanya
dari Causebay saja, buruh migran yang datang ke Victoria Park juga
datang dari berbagai penjuru Hong Kong. Sekadar bersenda gurau, melepas
rindu sebangsa, bahkan berjualan gorengan sampai soto dan nasi rawon.
Decak
kagum ketika kaki melangkah memasuki Victoria Park. Ribuan buruh
berkumpul di taman ini. Beberapa asyik dengan obrolan diantara
kelompoknya, beberapa menikmati makan siangnya. Tidak sedikit pula
mereka yang terlihat mengutak-atik dan bermain dengan gadget android
keluaran terbaru merek ternama.
Tapi, ada yang lebih mengejutkan
lagi,
pasangan sesama jenis yang asyik bercengkerama di pinggiran
taman, sepertinya, tidak ada malu-malu atau bersembunyi dari sikap
romantis para pasangan tersebut. Terlebih di Minggu sore dimana para
buruh migran akan berpisah sementara waktu menunggu akhir pekan
berikutnya.
"Minggu sore akan menjadi hari yang panjang untuk tidak bertemu beberapa hari ke depan," kata Razak.
Para
buruh migran ini mulai memadati Victoria Park sejak pukul 09.00 waktu
setempat. Tidak ada penjelasan pasti mengapa taman cantik ini dijadikan
titik kumpul para buruh migran.
"Karena kebanyakan kami bekerja
tidak jauh dari sini, tapi ada juga yang jauh menyempatkan melepas rindu
dengan sesama buruh migran di sini," kata salah seorang buruh migran,
Luluk, Minggu sore.
Memang, lokasi ini tidak begitu jauh dari
pusat belanja di Causebay dan juga sarana transportasi publik. Selain
itu kantor Konsulat Jenderal RI berada hanya dua blok dari titik kumpul
buruh migran.
Taman akan kembali lengang sekitar pukul
18.00-19.00 waktu setempat. satu persatu buruh migran kembali ke
rumah-rumah yang menaungi mereka bekerja, bersia untuk menghadapi
rutinitas sehari-harinya.